RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Kereta api, riwayatmu dulu...

Baru saja saya membaca artikel berita di salah satu harian online nasional, yang membahas soal semakin berkurangnya jumlah penumpang kereta api di bandingkan dengan tahun - tahun yang lalu (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/03/16215248/Penumpang.KA.Turun.karena.Beralih.ke.Pesawat).

Sekedar share saja, beberapa waktu ini saya harus bolak - balik menuju kota kelahiran karena ada beberapa urusan. Kalau biasanya saya selalu berkereta api, kali ini saya justru lebih memilih bus atau pesawat. Saya, yang paling ogah naik bus, justru sekarang lebih memilih kereta sebagai pilihan terakhir.

diambil dari sini
Dalam artikel yang saya baca, meluasnya trayek transjakarta dan semakin murahnya harga tiket pesawat, menjadi alasan berkurangnya jumlah penumpang si roda besi ini. Entah mengapa, aku hanya bisa tertawa.

Kepulanganku yang terakhir dari ibukota menyisakan kenangan pahit pada BUMN yang satu ini. Saya berencana pulang hari minggu, 18 Desember 2011 dengan menumpang kereta rakyat bernama ekonomi. Saya diberitahu kakek untuk langsung membeli tiket di hari keberangkatan dengan mengantri di loket pukul 3sore. Tepat pukul 3.30 sore, saya sudah mengantri dengan puluhan calon penumpang lain. Antrian berlapis 2. Di kiri - kanan, nampak beberapa calon penumpang ataupun keluarganya, yang sudah membawa barang - barang mereka. Jam tangan saya menunjukkan pukul 3.45, dan saya berada di tengah antrian, ketika loket tiba2 di tutup, tanpa ada pemberitahuan. Kami masih terus menunggu karena tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin break istirahat, mungkin pergantian shift, mungkin tiket habis. Semua asumsi bermunculan.

15 menit paska loket ditutup, tiba - tiba muncul seorang anggota keamanan. Karena tidak tahan dalam ketidakpastian, saya bertanya apa yang terjadi. Mengapa loket tiba - tiba tutup tanpa ada pemberitahuan? bahkan orang di antrian terdepanpun juga tidak tahu dan tidak diberitahu? Satpam itupun akhirnya masuk ke dalam loket dan menelepon petugas. Lima menit berlalu dan ia memberitahukan bahwa tiket sudah habis. Whatz?? Sungguh bentuk ketidak profesionalan yang dilakukan oleh para petugas PT KAI. Satpam itu pun akhirnya meminta maaf, karena tidak ada pemberitahuan. Saya tentu saja kecewa. Kecewa yang juga dirasakan ratusan calon penumpang yang berbaris lebih panjang daripada waktu saya datang tadi.

Malam harinya, saya bisa berangkat dengan kereta api ekonomi yang saya antri tiketnya sore hari. Apa sebab? Yak, ada seorang perempuan yang tiba – tiba menawarkan tiket, dengan alasan adeknya tiba – tiba batal berangkat. Dia menawarkan tiket seharga 50ribu, padahal print-out tiket itu hanya seharga 33ribu. Waktu saya menanyakan, ia beralasan bahwa ia membelinya dari seorang petugas pegawai kereta api, dan memberi upah seharga itu. Yah, entah apakah yang ia katakan itu benar atau hanya alasan belaka, biarlah dia yang menanggung akibatnya. Saya tidak tahu apakah dia orang biasa atau calo yang memang banyak tersebar di kota besar ini.

Saya duduk dalam kursi isi tiga bersama beberapa pria yang tak saya kenal. Kami duduk berhadapan dengan 3 orang pria lain. Dari perbincangan khas pria, akhirnya saya tahu bahwa pria di depan saya hendak pergi menuju ke arah Jawa Timur bersama 4 orang teman sedesanya. Ia harus pulang kampung karena desanya terbakar. Rencananya, ia akan turun di Semarang dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus. Dari perbincangan itu pula saya tahu, bahwa ia mendapatkan tiket dari calo. Ia sudah antri, sama seperti saya, tapi kehabisan pula. Ia membeli tiket dengan harga 65ribu, dari mulai harga awal yang ditawarkan sebesar 90ribu. Dari ceritanya pula diketahui bahwa uang hasil penjualan itu langsung dibagi – bagi oleh calo itu kepada pihak – pihak yang terkait, sekitar 5ribuan per orang.

Kisah serupa juga dialami pria disamping kanan saya. Ia membeli tiket seharga 75ribu, lagi – lagi dari calo. Dia sudah biasa pulang – pergi dengan kereta api dan tahu benar adat budaya yang berlaku, sehingga tidak mau capek – capek mengantri. Ia tinggal menghubungi para calo, yang katanya justru adalah “orang – orang dalam”.

Saya arahkan mata ke tempat duduk kosong di sebrang, kelihatannya kursi itu tidak berhasil dijual oleh calo. Entah karena harganya kemahalan, atau mereka tidak mendapatkan calon penumpang yang sepakat. Saya kembali teringat akan perjuangan para penumpang yang mengantri penuh harap. Penumpang yang membawa serta keluarganya. Penumpang yang memilih naik kereta ekonomi karena keterbatasan biaya. Alangkah parahnya, Negara ini mempermainkan warganegaranya.

Ketika mengantri, saya sempat membaca spanduk besar bertuliskan bbahwa sekarang pembelian tiket bisa dilakukan online. Tidak hanya untuk kereta kelas menengah atas, tapi termasuk juga kereta ekonomi. Saya tidak bisa membayangkan orang – orang yang mengantri bersama saya ini akan reservasi tiket via online. Reservasi online yang websitenya saja saya buka masih sering eror. Reservasi online yang selalu saja tidak bisa saya lakukan untuk memesan tiket ekonomi, karena alasan tidak tersedia tanggal berapapun itu. Bahkan ketika saya pesan 2 minggu sebelum berangkat. Saya saja, yang katanya melek teknologi, merasa ribet untuk pesan via online, apalagi mereka yang rata – rata tidak mengenyam pendidikan yang layak karena berada di tingkat ekonomi bawah?

Belum lepas kekagetan saya, ketika muncul kebijakan baru. Peraturan bahwa peron dihapuskan dan pengantar hanya boleh mengantar sampai ruang tunggu saja. Peraturan ini memang sengaja dibuat supaya para kuli angkut bisa mendapatkan penghasilan. Tapi peraturan ini kurang bijaksana, jika calon penumpang membawa anak – anak yang tentu saja tidak bisa membawa banyak barang. Nantinya, anak cucu saya mungkin tidak akan bisa melihat film dengan latar seorang kekasih melepaskan kepergian cintanya di pinggir rel kereta.

Kereta-api, riwayatmu dulu. Jika anda tidak menilik ulang kebijakan anda, maka kereta-api hanyalah akan berakhir di museum. Kebijakan yang tidak menguntungkan konsumen, malahan dimanfaatkan pihak – pihak pengambil kentungan, alias calo. Jika tak ada peningkatan pelayanan, tak ada kenyamanan penumpang, bukannya tidak mungkin kereta api nantinya hanya tinggal kenangan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS